MEMAHAMI TATANAN KELEMBAGAAN DALAM INSTITUSI PENDIDIKAN:



(Catatan Kritis untuk dosen honorer di BSI)


Setiap organisasi, apapun bentuknya pasti ia memiliki perspektif dan metode serta budaya yang diharapkan dapat menjadi tatanan yang kontruktif bagi semua elemen didalamnya. Termasuk dalam hal ini adalah sumber daya manusia sebagai salah satu elemen penting dalam organisasi. Tatanan dan pemahaman tersebut adalah  dua hal yang saling bertalian kelindan dalam menjalankan aktivitas organisasi. Tatanan yang baik yang didalamnya mengatur berbagai mekanisme dan sistem serta berbagai aspek normatif lainnya, akan memberikan countur yang baik bagi nilai-nilai yang dipegang organisasi kepada anggotanya. Sebaliknya pemahaman yang baik pula dengan tingkat adaptability dan responsibility secara konstruktif dan cooperatif dari anggota/ karyawan akan dapat melahirkan aktivitas organisasi yang efektif pula. Dua pola inilah yang akan membidani lahirnya kecenderungan positif melihat organisasi (terlepas apakah organisasi tersebut memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan) dalam ekuitas nilai yang harus dipegang oleh semua elemen yang terdapat dalam organisasi. Dengan demikian keberagaman pandangan dan persepsi anggota terhadap organisasi dalam melihat eksistensi suatu organisasi bukan dipahami sebagai suatu sikap subordinatif dari suatu pemikiran yang harus diredusir oleh organisasi sebagai suatu pandangan atau sikap destruktif, melainkan realitas dari suatu fase yang elementer dan biasa untuk melihat terus organisasi dalam spektrum perkembangannya yang dinamis.

Dalam konteks organisasi/lembaga pendidikan misalnya,  setiap lembaga pendidikan tentu memiliki berbagai tatanan yuridis dan normatif yang secara konseptual tertruktur dan terencana menjalankan proses aktivitasnya yaitu menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. Proses elementer tersebut sepenuhnya dijalankan oleh staf pengajar ( baik dosen tetap maupun dosen profesional dan praktisi) yang berhadapan langsung dengan implikasi dan implementasi tatanan akademis yang dibangun dan dikembangkan oleh lembaga sebagai bagian dari identitas dan kultur organisasi atau institusi.

Berbagai tatanan yang dibuat oleh lembaga tersebut tentu diarahkan untuk mendorong terciptanya proses kegiatan akademis yang efektif dan kondusif, agar nantinya dapat melahirkan sumber daya manusia (mahasiswa) yang memang dapat dipertanggung -jawabkan kompetensinya dimata publik.

Dalam kaitanya memahami pola antara tatanan yang dibangun oleh lembaga dan pemahaman oleh para dosen inilah yang sering kali muncul distorsi komunikasi. Ketidakpuasan terhadap metode/konsep kurikulum, metode dan standard evaluasi, metode penanganan dan pengelolaan teknis belajar mengajar, kontrol terhadap aktivitas pengajar secara koersif dan sebagainya adalah mungkin sebagian dari tema-tema ketidakpuasan para staf pengajar yang notabene “bertanggung jawab” pula dalam memproduksi kualitas sumber daya mahasiswa.

Apresiasi yang cenderung “distorsif” tersebut muncul sebagai suatu reaksi karena staf pengajar atau dosen adalah pihak yang paling merasakan sejauhmana efektifitas tatanan tersebut dikonstruksi. Efektif atau tidaknya implementasi kebijakan tersebut tentu didasari oleh berbagai pandangan dan analisa bahkan studi komparatif para dosen dengan institusi pendidikan lainnya. Boleh jadi apa yang menjadi paradigma para staf pengajar dan dosen memang merupakan bagian dari proses revitalisasi peran dan kedudukan lembaga secara eksistensial yang berimplikasi semakin kredibelnya suatu institusi pendidikan jika mengakomodasikan perspektif dan paradigma berfikir para staf pengajar sebagai salah satu elemen penting dari suatu institusi pendidikan.

Namun yang perlu diingat juga adalah bahwa apresiasi yang cenderung ”distorsif” tersebut dimata lembaga pendidikan bisa saja merupakan akibat dari lemahnya para dosen/ staf pengajar, khususnya dosen/ staf pengajar profesional (honorer) dalam beradaptasi dengan lingkungan dan budaya organisasi. Penulis menyoroti faktor ini cenderung menjadi dominan mewarnai sikap sebagian rekan-rekan dosen honorer yang berimplikasi pada segi-segi degradatifnya ekuiti dosen honorer dalam menyikapi dinamika dan proses kegiatan belajar-mengajar yang dikembangkan oleh institusi pendidikan. Sikap personalisasi, individual, arogansi, bahkan sindrom institution mainded (menonjolkan institusi pendidikan lain sebagai barometer pemikiran) secara pragmatis dengan menempatkan lembaga pendidikan ini (baca : BSI) secara subordinatif (second level) dengan menegasikan paradigma comparative advantage secara obyektif, adalah merupakan realitas sekaligus input masalah yang mencederai esensi dan budaya kerja yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan (BSI). Rekan-rekan dosen honorer harus menyadari bahwa  profesionalisme berdiri diatas ranah dan kultur organisasi dimana kita berpijak. Independensi nilai profesionalitas juga bertalian kelindan dengan spek normatif pemahaman kita terhadap strategi, pencapain dan berbagai tatanan sistematis pengelolaan kegiatan akademis secara holistis yang menjadi dasar visi orientasi pendidikan yang lembaga terapkan. Dengan demikian kontribusi rekan-rekan dosen honorer tetap inheren dalam spektrum otonomi serta masih dalam konteks entitas idealisme akademis tanpa merasa dikooptasi gagasan dan pemikirannya oleh lembaga. Sekali lagi mudah-mudahan rekan-rekan dosen honorer mau menyadari bahwa setiap institusi pendidikan memiliki wacana akademisnya sendiri berdasarkan paradigma kultur pendidikan yang otonom dan kita sebagai dosen sudah seharusnya memiliki kemampuan adaptasi pula sesuai dengan toleransi akademis tanpa menegasikan nilai-nilai idealisme kita sebagai dosen.

0 komentar:

Post a Comment