Perbedaan Lembaga Dan Kelembagaan
Perbedaan Lembaga Dan Kelembagaan - Huntington (1965) mengatakan lembaga merupakan pola perilaku yang selalu berulang bersifat kokoh dan dihargai oleh masyarakat. Organisasi dan prosedur memiliki berbagai tingkatan dalam proses pelembagaan. Pelembagaan merupakan sebuah proses dimana organisasi dan prosedur mendapatkan nilai dan kemantaban dan menurut Uphoff (1986) Lembaga merupakan sekumpulan norma dan perilaku telah berlangsung dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencapai tujuan bersama.
Kelembagaan adalah Suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang dan lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur. Dalam konteks sistem agribisnis di pedesaan, dikenal delapan bentuk kelembagaan yaitu:
(1) kelembagaan penyediaan input usahatani,
(2) kelembagaan penyediaan permodalan,
(3) kelembagaan pemenuhan tenaga kerja,
(4) kelembagaan penyediaan lahan dan air irigasi,
(5) kelembagaan usahatani/usahaternak,
(6) kelembagaan pengolahan hasil pertanian,
(7) kelembagaan pemasaran hasil pertanian, dan
(8) kelembagaan penyediaan informasi (teknologi, pasar, dll).
Dalam konteks kelembagaan ada tiga kata kunci, yaitu: norma, perilaku, kondisi dan hubungan sosial. Signifikansi ketiga kata kunci tersebut dicerminkan dalam perilaku dan tindakan, baik dalam tindakan tindakan individu, maupun dalam tindakan kolektif. Setiap keputusan yang diambil selalu akan terkait atau dibatasi oleh norma dan pranata sosial masyarakat dan lingkungannya. Vice-versa, kondisi demikian menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan dalam masyarakat merupakan suatu tindakan berbasis kondisi komunitas (community-based action) yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu celah masuk (entry-point) upaya diseminasi teknologi. Dalam kontek kelembagaan pertanian, pemahaman terminologi ”lokal” dinterpretasikan sebagai suatu yang memiliki karakteristik tersendiri yang berkaitan dengan kondisi setempat. Terminologi lokal dimaksud meliputi dasar-dasar untuk melakukan tindakan kolektif, energi untuk melakukan konsensus, koordinasi tanggung jawab; serta menghimpun, menganalisis dan mengkaji informasi.
Dalam kasus kelembagaan usaha, Susanty (2005) memaparkan bahwa kelembagaan usaha atau kelembagaan kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi atau digunakan dalam kegiatan usaha kesejahteraan sosial (UKS). Melalui kelembagaan itu pula hubungan antar manusia diatur oleh sistem norma dan organisasi sosial yang mengatur hubungan manusia tersebut. Sementara dalam hal hubungan dan perilaku yang terjadi dalam suatu organisasi sosial, Rahayuningsih (2004) mengatakan bahwa di dalam suatu kelompok terdapat pengaruh dari perilakuorganisasi (kelompok) terhadap perilaku perorangan. Sebaliknya perilaku perorangan juga memberikan pengaruh terhadap norma dan sistem nilai bersama yang biasanya menjadi perilaku kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian kelembagaan, dapat disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan suatu sistem yang syarat dengan nilai dan norma yang bertujuan mengatur kehidupan manusia di dalam kelembagaan pada khususnya maupun manusia di luar kelembagaan pada umumnya.
Norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat memiliki tingkatan kekuatan mengikat tersendiri. Seperti yang dipaparkan Soekanto (2002) dalam Sosiologi sebagai Pengantar bahwa untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut dikenal adanya empat pengertian, yaitu:
a. Cara (usage)
b. Kebiasaan (folksway)
c. Tata kelakuan (mores), dan
d. Adat istiadat (custom)
Setiap tingkatan di atas memiliki kekuatan memaksa yang semakin besar mempengaruhi perilaku seseorang untuk menaati norma. Begitu pula yang dipaparkan oleh Soemardjan dan Soelaeman (1974) bahwa setiap tingkatan tersebut menunjukkan pada kekuatan yang lebih besar yang digunakan oleh masyarakat untuk memaksa para anggotanya mentaati norma-norma yang terkandung didalamnya.