Pemanfaatan kulit ternak /hewan untuk kepentingan manusia

Pemanfaatan kulit ternak /hewan untuk kepentingan manusia itu  berjalan searah dengan perkembangan peradaban manusia. Dari keseluruhan produk sampingan hasil pemotongan ternak, maka  kulit merupakan produk yang memiliki nilai ekonomis yang paling tinggi.  Berat kulit pada sapi, kambing  dan kerbau memiliki kisaran 7-10% dari berat tubuh.  Secara ekonomis kulit memiliki harga berkisar 10-15% dari harga ternak.

Sejak masa prasejarah  pemanfaatan kulit telah dikenal oleh masyarakat.  Hal tersebut terbukti dari peninggalan tertulis maupun pahatan/relief pada batu yang menunjukkan bagaimana proses pengolahan kulit dan kegunaannya pada manusia sebagai pakaian serta rumah tenda dari bahan kulit (bangsa Indian).Di Semenanjung Asia terutama India dan China ditemukan  bukti tertulis.  Di Afrika khususnya Mesir ditemukan pakaian dari kulit yang dipakai untuk membungkus mummy.  Di Eropa, pengembaraan bangsa Moor telah membawa budayanya sampai Spanyol sehingga teknologi pengolahan kulit berkembang sampai negara-negara Eropa lainnya. Di Museum Berlin disimpan batu yang menggambarkan proses pengolahan kulit harimau.  Demikian pula di British Museum kini tersimpan pakaian dan sepatu dari kulit (mummy) dari masa prasejarah.  Perkembangan proses pengolahan kulit secara sederhana dan pemanfaatannya di Asia disebarkan ke Asia dan Afrika oleh Marcopolo.        

Potensi hasil ikutan berupa kulit di Indonesia masih sangat besar, hal ini disebabkan masih sedikitnya industri besar yang mengelola secara intensif.  Kalaupun ada kapasitasnya belum mampu memenuhi permintaan pasar.  Sebagai contoh industri kulit hanya mampu menghasilkan 350.000.000 sqft/tahun sedangkan permintaan untuk industri alas kaki maupun untuk barang jadi sebesar 673.000.000 sqft/tahun sehingga setiap tahunnya  terjadi kekurangan 323.000.000 sqft.  

Sebelum era krisis moneter, pihak pemerintah dengan syarat tertentu masih mengizinkan industri-industri penyamakan kulit untuk mengimpor kulit mentah dan awetan dari luar negeri, dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kulit dalam negeri yang sepenuhnya belum mencukupi. Namun demikian sejak dimulainya krisis moneter, pemerintah akhirnya mengeluarkan suatu kebijakan untuk melarang impor kulit mentah maupun kulit setengah jadi dari luar negeri dengan alasan tingginya harga dasar barang (naik + 300-400%) dan pajak impor yang harus ditanggung oleh importir akibat fluktuasi rupiah oleh mata uang asing.  Dengan langkah kebijakan tersebut para pengusaha dalam negeri tentunya harus menyediakan bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.  Masalah yang timbul, apakah mutu kulit mentah maupun kulit awetan yang dihasilkan oleh masyarakat di dalam negeri sudah memenuhi standar yang sesuai atau paling tidak telah mendekati standar kualitas yang telah ditetapkan .  Sebuah fenomena yang patut kita ingat bahwa pada saat industri perkulitan mengalami kejayaan pesat, ekspor kulit samak (leather) merupakan sumber devisa negara non migas selain kayu, tekstil dan elektronik.  Berdasarkan gambaran tersebut, tentunya banyak hal yang harus dikaji dan terpulang kepada, bagaimana perkembangan ilmu dan teknologi khususnya ilmu dan teknologi pengolahan kulit ke depan serta kualitas SDM peternakan yang dimiliki.  Pada bagian-bagian selanjutnya akan dikaji mengenai teknik penanganan dan pengolahan pada kulit.

0 komentar:

Post a Comment