Teknologi Pengawetan pada Kulit Mentah

Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau proses untuk mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen dalam jaringan kulit.  Prinsip pengawetan kulit adalah menciptakan kondisi yang tidak cocok bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme perusak kulit.  Hal tersebut dilakukan dengan menurunkan kadar air sampai tingkat serendah mungkin dengan batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak mampu untuk tumbuh (± 5-10%). 
Pengawetan kulit memiliki beberapa tujuan antara lain :
  • Mempertahankan struktur dan keadaan kulit dari pengaruh lingkungan untuk sementara waktu  sebelum dilakukan proses pengolahan/penyelesaian
  • Untuk tujuan penyimpanan dalam waktu yang relatif lebih lama 
  • Agar kulit dapat terkumpul sehingga dapat dikelompokkan menurut besar dan kualitasnya serta mengantisipasi terjadinya over produksi karena stok kulit yang terlalu banyak
Secara umum Teknologi pengawetan kulit mentah yang dikenal di Indonesia terdiri atas 4 macam, yakni :

1.  Pengawetan dengan cara pengeringan + zat kimia

Kulit segar yang baru dilepas dari ternak selanjutnya dilakukan pengawetan dengan maksud untuk mengurangi kadar air yang terdapat dalam kulit hingga mencapai batas minimum kadar air yang diperlukan  untuk persyaratan hidup bakteri perusak.  Adapun urutan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
  • Pencucian dan pembuangan daging. Kulit yang baru dilepas dicuci dengan air mengalir dan kelebihan daging maupun lemak yang masih melekat dibuang.  Pisau yang digunakan harus tajam dan bentuknya melengkung untuk mencegah robeknya kulit.  Setelah semua lemak dan daging telah bersih selanjutnya  dicuci kembali dengan air mengalir
  • Pengetusan (Pentirisan). Kulit yang telah dicuci kemudian disampirkan atau ditiriskan diatas kuda-kuda kayu dan dibiarkan menetes selama 30 menit.
  • Pemberian zat kimia. Kulit direndam dalam bak yang berisi zat kimia jenis Natrium Arsenat 0,5% selama 5-10 menit.  Setelah proses tersebut selesai, kulit masih disampirkan  diatas bak agar sisa-sisa zat kimia masih tetap menetes kembali ke dalam bak
  • Pementangan Setelah zat kimia menetes dengan baik, kulit dipentang dan ditarik dengan tali pada kerangka kayu (pentangan kulit).  Pentangan untuk kulit sapi, kerbau maupun kuda menggunakan kayu bulat dengan diameter kira-kira 5-10 cm yang menyerupai model bingkai gambar.  Ukuran panjang maupun lebarnya disesuaikan dengan kondisi kulit dengan acuan bahwa pentangan tersebut dapat menampung luas maksimal dari kulit.  Kulit yang akan dipentang dilubangi pada bagian pinggirnya dengan jarak kira-kira 2-3 cm dari batas pinggir kulit dan ditarik hingga posisi kulit terpentang dengan sempurna tanpa adanya pengkerutan dan pelipatan pada bagian pinggir maupun tengah.   Proses pementangan untuk kulit kecil seperti domba, kambing maupun reptil dapat dilakukan diatas papan dan teknik pementangannya tidak perlu menggunakan tali tapi cukup dilakukan dengan menggunakan paku.
  • Pengeringan. Kulit yang telah dipentang selanjutnya siap untuk dijemur.  Proses pengeringan tidak boleh dilakukan terlalu cepat, sebab zat-zat kulit pada lapisan luar akan mengering lebih cepat dibanding pada bagian dalam dari kulit.  Temperatur yang terlalu tinggi menyebabkan zat-zat kulit (kolagen) mengalami proses gelatinisasi menjadi gelatin yang bersifat mengeras dan tentunya dapat menghalangi proses penguapan air pada bagian dalam.  Bila hal tersebut terjadi mengakibatkan kulit akan membusuk pada saat disimpan dalam jangka waktu yang lama.  Untuk mengantisipasi hal tersebut beberapa petunjuk teknis sederhana tentang posisi letak kulit dalam proses penjemuran kulit dibawah sinar matahari. Penjemuran pertama dimulai pada bagian daging (flesh).  Pukul 09.00-11.00 dan pukul 15.00-17.00 penjemuran dilakukan dengan arah sinar matahari tegak lurus dengan permukaan kulit.  Pada waktu siang hari yaitu pukul 11.00-15.00 penjemuran dengan arah sinar matahari sejajar dengan arah datangnya sinar matahari.  Bila kulit pada bagian dagingnya telah kering, maka posisi kulit dapat dibolak balik sedemikian rupa hingga semua pengeringan dapat merata disemua permukaan kulit.  Proses pengeringan kulit dapat selesai dalam waktu kurang lebih 2-3 hari dengan kondisi panas matahari yang cukup dan penguapan yang teratur.   Beberapa petunjuk sederhana untuk mengetahui apakah proses pengeringan telah cukup, yakni apabila  : Keadaan kulit terlihat tembus cahaya (transparan), Keadaan kulit tegang (kaku), Bagian daging dan bulu telah mengering, Penampang kulit bila diketuk akan berbunyi nyaring.
  • Pelipatan. Setelah kulit menjadi kering selanjutnya dilepas dari pentangannya dan dilipat dua dengan arah lipatan membujur dari pangkal ekor menuju ke kepala  sejajar dengan garis punggung dan membagi dua bagian tubuh yaitu kiri dan kanan.  Bagian daging atau bulu dapat ditempatkan pada bagian dalam maupun luar.  Setelah dilakukan pelipatan kemudian kulit dapat disimpan sebagai kulit awetan.

2.  Pengawetan dengan cara kombinasi penggaraman dan pengeringan
 
Kulit segar setelah bersih dari lemak, darah, sisa-sisa daging maupun kotoran yang melekat (seperti cara -1) kemudian direndam dalam dalam cairan garam (NaCl) jenuh dengan kadar kepekatan garam (salinitas) 20-24oBe selama 1-2 hari.  Tingkat kepekatan garam tidak boleh berada dibawah 20oBe.  Kadar salinitas tersebut diukur dengan alat yang disebut Baume meter.  Bila tingkat salinitas mengalami penurunan maka sebaiknya ditambah dengan garam.  Bila alat ukur tersebut tidak dijumpai, maka kadar salinitas dapat diprediksi dengan formulasi berikut. 

Untuk membuat larutan garam dengan tingkat kepekatan 1 oBe maka dibutuhkan garam murni (NaCl) sebanyak 1% dari total berat air pelarut, sedangkan bila menggunakan garam teknis dibutuhkan 1,5 % dari total berat air pelarut.  Mengingat garam murni sangat sulit untuk diperoleh dan secara ekonomis mahal, sehingga lebih baik menggunakan garam teknis (garam kotor) yang banyak dijual di pasaran.

Standar baku untuk salinitas 1oBe dapat dibuat dengan melarutkan 1 kg garam murni ke dalam 100 liter air atau 1,5 kg untuk  garam teknis.  Berdasarkan acuan tersebut berarti untuk mencapai larutan dengan tingkat kepekatan 20oBe, berarti untuk penggunaan garam murni dibutuhkan 20 kg (20 x 1% x 100 = 20) dan untuk garam teknis 30 kg (20 x 1,5% x 100 = 30).  

Cara lain untuk menentukan tingkat kejenuhan garam dalam pelarut, yakni dengan melarutkan garam ke dalam air sambil diaduk.  Bila garam tidak dapat larut lagi, berarti konsentrasi garam dalam larutan tersebut telah jenuh , Kulit yang telah direndam ditiriskan pada bagian atas bak perendaman.  Bagian daging dari kulit tersebut ditaburi kembali dengan garam dengan persentase 10% dari berat kulit basah dan kulit didiamkan selama 1-2 jam untuk memperbaiki kondisi peresapan.  Kulit kembali dipentang pada bingkai kayu (seperti cara-1) dengan waktu pengeringan 3-5 hari.    Kulit yang telah kering selanjutnya dilipat (seperti cara-1).
Dalam proses ini memiliki beberapa keuntungan maupun kerugian antara lain :
- Keuntungan 
  • Selama waktu pengeringan kulit tidak lekas menjadi busuk sekalipun pengeringannya memerlukan waktu yang relatif lama misalnya pada saat musim penghujan.    
  • Kualitas kulit menjadi lebih baik dari pada yang dikeringkan saja (cara-1) oleh karena  serat-serat  kulit tidak melekat satu sama lain 
  • Kulit sangat baik untuk disamak terutama dalam proses perendaman (soaking) yang tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama lagi
- Kerugian
  • Biaya pengawetan yang dibutuhkan menjadi lebih banyak dibanding cara-1 karena jumlah penggunaan garamnya bertambah pula 

3.  Pengawetan dengan cara garam basah

Kulit yang telah bersih dimasukkan ke dalam garam jenuh selama 24 jam (seperti pada cara-2).  Setelah perendaman, kulit tidak lagi dikeringkan seperti (cara-2), tetapi kulit diletakkan pada lantai miring yang diatasnya telah ditaburi dengan garam.  Kulit yang berada pada posisi paling bawah diletakkan dengan bagian bulu menghadap ke lantai dan bagian berdaging menghadap keatas. 
 
Bagian berdaging ditaburi garam kira-kira 30% dari berat kulit basah (setelah perendaman).  Penempatan kulit berikutnya sama halnya dengan posisi pertama yaitu untuk kulit-kulit yang memiliki bulu pendek seperti sapi, kerbau dan kuda.  Jadi bagian daging posisi pertama bersentuhan dengan bagian bulu posisi kedua.  Begitu seterusnya hingga tinggi tumpukan maksimal 1 meter.  Kulit terakhir yang berada pada posisi atas berfungsi sebagai penutup sehingga posisi penempatannya terbalik dari keadaan semula yaitu  bagian bulu menghadap ke atas.  Tumpukan kulit didiamkan selama 1 malam hingga air dalam kulit menetes sedikit demi sedikit.  Kulit yang telah digarami tersebut didiamkan selama 2-4 minggu supaya cairannya bisa seluruhnya keluar.  Dengan demikian kulit dapat dilipat untuk diperdagangkan atau disimpan sebagai kulit garaman.  

Penyimpanan kulit-kulit yang telah diikat tersebut dalam gudang tidak lebih dari          1 meter untuk mencegah timbulnya panas yang berlebihan.  Pengawetan dengan cara ini terutama dilaksanakan di daerah-daerah yang memiliki iklim dingin/sejuk  yang kurang terkena sinar matahari.  Teknik ini digunakan pula untuk pengawetan kulit yang tidak tahan terhadap sinar matahari seperti kulit ikan dan kulit reptil.  Seperti halnya cara-2 jenis pengawetan ini memiliki beberapa keuntungan dan kerugian antara lain :

- Keuntungan  :
  • Pengawetan tidak tergantung dengan sinar matahari
  • Sedikit sekali terjadi kerusakan kulit
  • Proses perendaman (soaking) dalam proses penyamakan kulit membutuhkan waktu yang singkat
  • Pelaksanaan cepat dan tidak membutuhkan ruangan yang luas
- Kerugian :
  • Untuk daerah tropik seperti di Indonesia pengawetan dengan menggunakan garam basah masih disangsikan keberhasilannya mengingat temperatur ruangan yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri khususnya bila penyimpanan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama.  Bakteri yang seringkali ditemukan pada kulit garaman adalah jenis bakteri halapofilik yang diketahui relatif tahan terhadap suasana garam.
  • Biaya pengawetan sedikit lebih mahal karena pemakaian garam yang relatif lebih banyak serta membutuhkan penyimpanan dengan temperatur yang rendah.
4. Pengawetan dengan cara pengasaman (pickling) 
Teknik pengawetan ini terutama dipakai untuk mengawetkan kulit domba (terutama di New Zaeland, Australia, Amerika dan pabrik-pabrik kulit yang berskala besar lainnya).  Untuk keperluan ekspor kulit dipickle selama 2 bulan atau lebih.  Pengawetan kulit dengan cara dipickle dikerjakan untuk kulit-kulit yang telah dikeluarkan bulunya melalui proses pengapuran (liming), buang kapur (deliming) dan telah didegradasi sebagian protein penyusunnya yang disebut bating (beitzing) (Prosesnya sama dengan tahap pendahuluan dalam proses penyamak kulit).  Proses bating tersebut dilakukan dengan mereaksikan enzim dengan kulit.  
 
Setelah proses bating selesai, kulit diputar dalam cairan asam (pickle) yang terdiri dari garam dapur (NaCl), asam dan air.  Komposisi yang digunakan adalah 15% NaCl + 1,2% H2SO4 atau asam lain + 100% air pada pH ± 2,5.  Persentase bahan-bahan yang dipakai diperhitungkan dari berat kulit.  Kepekatan cairan pickle antara 10-12 oBe.  Kulit dimasukkan ke dalam cairan pickle secara bersama-bersama diputar dalam drum berputar (paddle) selama 2 jam dan selanjutnya dilakukan proses pemerasan (sammying).  Kulit yang telah diperas dilipat seperti cara terdahulu yaitu membujur dari pangkal ekor menuju ke bagian kepala membagi bagian tubuh menjadi dua yakni kiri dan kanan.  Kulit dimasukkan ke dalam tong kayu dengan bagian dasarnya diberi dengan garam begitu pula di antara lapisan-lapisan lembar kulit.  Bagian kulit paling atas ditaburi garam dan ditutup rapat.  Kandungan air diusahakan tidak lebih dari 40% dengan pH 2-2,5.

Dari keempat jenis pengawetan kulit tersebut, tentunya masing-masing jenis pengawetan memiliki keuntungan dan kerugian, namun pada prinsipnya proses pengawetan yang dilakukan tentunya mengarah kepada suatu upaya bagaimana kulit mentah tersebut memiliki umur simpan yang maksimal hingga memasuki tahap pengolahan.  Selama proses penyimpanan tersebut struktur penyusun kulit sangat rentan sekali oleh pengaruh mikroorganisme.  Selain itu tentunya perubahan-perubahan yang terjadi pada struktur penyusun diupayakan dapat diminimalisir.     

Tingginya kadar air dan protein pada kulit menyebabkan kulit merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Dengan fenomena ini menunjukkan bahwa, produk kulit mentah merupakan produk hasil sampingan pemotongan ternak yang memerlukan penanganan khusus setelah lepas dari tubuh ternak.  

Selain zat-zat kimia tersebut,  di dalam kulit yang masih segar terdapat pula beberapa jenis enzim yang dihasilkan oleh sel-sel di dalam kulit itu sendiri  yakni enzim cathepsin, collagenase, dan dopa oxidase.  Enzim  collagenase disintesis oleh sel fibroblast.  Selama hewan masih hidup enzim tersebut dalam bentuk pro-collagenase yang tidak aktif, namun setelah hewan dipotong pro-collagenase tersebut akan menjadi aktif sebagai collagenase yang dapat mencerna serabut kolagen.  Selama kulit masih segar setelah lepas dari tubuh dan sebelum mengalami pengawetan dalam kondisi lingkungan yang sesuai,  enzim  cathepsin bersama-sama dengan enzim collagenase mencerna zat-zat dalam kulit.  Kejadian tersebut lazim disebut autolisis.  Enzim dopa oxidase memiliki pengaruh yang besar terhadap perubahan warna pada kulit ternak/hewan pada saat masih hidup. Akibat pengaruh sinar ultraviolet, tirosin berubah menjadi dopa yang selanjutnya dopa teroksidasi menjadi senyawa melanin yakni butir zat warna pada kulit (Sarkar, 1995).  Warna kulit yang gelap (pada saat masih hidup) kemungkinan disebabkan oleh terekspose dibawah terik matahari dalam jangka waktu lama.  Warna kulit berpengaruh terhadap cara pengawetan, dimana warna kulit yang gelap bila diawetkan dengan cara pengeringan, akan cepat mengubah protein kolagen menjadi gelatin (Djojowidagdo, 1999).   

Selain enzim-enzim yang terdapat dalam kulit itu sendiri juga terdapat pula enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme penyerang kulit seperti halnya bakteri, jamur maupun mikroorganisme lain.  Gabungan enzim-enzim dari kulit itu sendiri dengan enzim dari mikroorganisme tersebut akan mempercepat proses degradasi terhadap komponen kulit  dan hasil digestinya disebut  lisis.

Komponen kulit yang paling penting untuk dipertahankan adalah protein kolagen, karena kolagen merupakan struktur utama yang dibutuhkan dalam proses penyamakan kulit dan sangat menentukan kualitas akhir dari kulit tersamak (leather).  Dalam upaya mempertahankan struktur kulit sangat perlu dilakukan proses pengawetan  sebelum dilakukan proses penyimpanan

0 komentar:

Post a Comment