Model Kelembagaan Lokal Masyarakat Indonesia


Model Kelembagaan Lokal Masyarakat Indonesia Kelembagaan dalam masyarakat pedesaan di Indonesia telah tumbuh dan berkembang sejak zaman dahulu kala, dengan fungsi utamanya sebagai kelembagaan gotong royong (kerjasama) terutama dalam menghadapi berbagai masalah yang terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. Anggota kelembagaan-kelembagaan masyarakat non formal tersebut secara sadar saling terikat dan saling memerlukan, bahkan mereka akan merasa terasingkan ketika mereka tidak mengikuti aturan atau kegiatan yang diselenggarakannya (Anwar, 2006).

Kelembagaan tradisional senantiasa berevolusi menyesuaikan diri ke bentuk dan tingkat yang sejalan dengan proses dan tingkat evolusi sosial masyarakat dan lingkungannya. Kelmbagaan yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya akan kehilangan perannya dan akhirnya mati digantikan oleh kelembagaan baru yang lebih sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat (Israel, Arturo. 1990).

Kelembagaan masyarakat memiliki nama khas untuk masing-masing daerah, beberapa contoh kelembagaan masyarakat lokal antara lain sbb (Syahyuti 2007).
  1. Candoli; lembaga ini bersifat lokal terdapat di wilayah Priangan Timur Jawa Barat (Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Sumedang). Lembaga ini diakui eksistensinya sebagai penentu waktu panen komunal dan dibutuhkan karena penguasaan akan informasi terkait perkembangan fisik padi (fenomena pertumbuhan) di lahan sawah.
  2. Kepunduhan di Jawa Barat; yang merupakan suatu lingkup kehidupan bertetangga (neighborhood) yang meliputi areal fisik dan populasi di bawah desa. Kepunduhan diketuai oleh seorang punduh yang berfungsi sebagai penyalur informasi dan mediator dengan punduh-punduh lain dan dengan kepala desa setempat.
  3. Otini-tabenak atau dewan adat di wilayah pegunungan tengah Papua, yang berfungsi sebagai penyaring dan penyalur informasi dari dunia luar.
  4. Subak di Bali; Kelembagaan / organisasi petani pengguna air. Kelembagaan ini sebagai contoh yang mampu beradaptasi dan berintegrasi dengan lembaga eksternal. Subak merupakan kelembagaan tradisional unik yang berbentuk organisasii formal di hierarki pemerintah daerah tingkat kabupaten, namun di tingkat lapang (daerah aliran sungai) tetap berbentuk organisasi non-formal.
    Struktur organisasi subak terdiri atas: Sedahan Agung yang merupakan posisi kepemimpinan formal (official position) tingkat pemerintah daerah kabupaten, yang dikepalai oleh pejabat yang mendapat gaji sebagai pegawai negeri. Sedahan Agung membawahi seluruh pekaseh (ketua) subak gde yang berada di wilayah kabupaten tersebut. Subak gde berupa organisasi non-formal dengan seorang seorang pekaseh sebagai ketua yang tidak mendapat gaji atau imbalan dari pemerintah. Subak merupakan contoh terlengkap kelembagaan petani yang memiliki keterkaitan lintas sektor. Kegiatan produksi pertanian dalam konteks subak merupakan suatu kegiatan sosio-tekno-religius daripada sebagai kegiatantekno-ekonom.
  5. Mayorat di Jawa Barat; merupakan organisasi nonformal yang bertugas mengelola dan mengatur pembagian air guna memenuhi kebutuhan kelompok petani setempat. Mayorat diketuai oleh seorang mayor atau ulu-ulu dan bertugas mengatur penggunaan air dari sumber air komunal di lokasi desa atau kampung. Eksistensi mayorat kini telah dievolusikan menjadi organisasi formal Kelompok Petani Pengguna Air (KPPA).
  6. Plong dan Sonor di Sumatera Selatan. Oragnisasi ini bersifat temporer di lokasi pemukiman transmigrasi pasang surut. Plong adalah kelembagaan normatif gotong royong yang menyediakan pelayanan pengolahan lahan secara bergilir antar anggota, Sonor adalah organisasi gotong royong penanaman padi pada lahan kosong yang dikuasai keluarga petani transmigran dan hanya dilakukan saat kemarau panjang yang terjadi 5 tahun sekali.

Dalam sektor pertanian Indonesia terdapat kelembagaan pengaturan waktu tanam di berbagai etnis. Di bali kelembagaan dimaksud disebut dewase, pranata mangsa (Jawa), dan sambanim dan pakasanim (etnis Marind di Papua) (Mardikanto. T, 1993).